ARTICLE AD BOX
GIANYAR, NusaBali
Pura Parahyangan Jagat Payogan Gunung Lebah, dikenal dengan sebutan Pura Gunung Lebah, terletak di titik inti Tukad Campuhan, Desa Adat Ubud, Kelurahan/Kecamatan Ubud, Gianyar. Spiritualitas pura ini terhubung erat dengan Pura Ulun Danu Batur di Desa Adat Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli. Salah satu bukti keterhubungan dimaksud yakni di Pura Gunung Lebah terdapat palinggih (banguan suci) berupa Meru Tumpang Lima sebagai stana Ida Bhatara di Pura Ulun Danu Batur.
Dari sejumlah cerita lisan di Ubud dan beberapa sumber, keberadaan Pura Gunung Lebah terkait erat dengan Pura Ulun Danu Batur di Desa Batur. Keterkaitan ini, antara lain mengacu pada keberadaan spiritualitas di Pura Gunung Lebah yang tidak terpisahkan dari Pura Ulun Danu Batur. Spiritualitas ini menguat tatkala dihubungkan dengan konteks sekala atau senyatanya.
Air yang mengalir di Tukad Wos Lanang dan Wadon hingga bertemu menjadi toya (air) Campuhan, mengalir dari titik hulunya yakni Danau Batur di Desa Batur. Aliran ini merupakan anugerah atau berkah dari Ida Bhatara-bhatari di Pura Ulun Danu Batur. Secara sekala, umat Hindu di sepanjang aliran tukad itu meyakini air dari hulunya, yakni Danau Batur merupakan sumber utama kesuburan dan kesejahteraan, hingga mewujud menjadi keharmonisan manusia dan alam Bali.
Pemahaman tentang asal muasal kesuburan ini baik sekala dan niskala amat diyakini oleh krama subak di wilayah Ubud dan sekitar. Meskipun dalam perkembangannya kemudian, kawasan Amunduk Taro itu (Campuhan Ubud – Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar) tidak hanya subur karena sumber daya hayati terutama pertanian. Penduduk di jalur ini juga makin merasakan kesejahteraan secara ekonomi karena pertumbuhan pariwisata, terutama di kawasan Ubud.
Pekaseh Subak Gede Ubud I Nyoman Suda mengakui kesuburan lahan pertanian hingga berdampak pada pertumbuhan pariwisata di Ubud dan sekitarnya, ini tidak terpisahkan dari anugerah Ida Bhatara - bhatari di Pura Ulun Danu Batur. Karena dari Danau itu Ida Bhatara-bhatari melimpahkan toya (air) untuk kesuburan umat hingga kawasan hilir, termasuk di Ubud dan sekitar. Oleh karena itu, krama subak dan masyarakat Ubud dan sekitar sangat bersyukur atas anugerah Ida Bhatara melalui panyungsungan Ida Bhatara-bhatari di Pura Gunung Lebah Ubud.
Seiring itu, Nyoman Suda meyakini kesuburan dan keharmonisan alam terutama pertanian di kawasan Ubud adalah berkat atau pasuwecan dari Ida Bhatara-bhatari di Ulun Danu Batur. Sedangkan Pura Gunung Lebah di hilir Tukad Wos Lanang dan Wadon merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari anugerah Ida Bhatara – bhatari di Pura Ulun Danu Batur.
Keyakinan masyarakat terhadap kesucian stana Ida Bhatara-bhatari di Pura Gunung Lebah tersebut dipertajam dengan sejarah perjalanan suci Maharsi Markandeya dari Jawa ke Bali saat bersama ratusan pengiring membuka hutan dari Taro, Tegallalang, Gianyar sampai kawasan Campuhan Ubud atau Amunduk Taro. Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya ditegaskan melalui bait slokanya, yakni ‘’…mwah ri pangiring banyu Oos ika ana wihara pasraman sira Rsi Markandya iniring para sisyan ira…’’. Terjemahanya kurang lebih ’’… di pinggir Sungai Oos/Wos itu terdapat sebuah wihara sebagai pasraman Maharsi Markandeya disertai oleh para muridnya…’’. Masih menurut sloka tersebut, Maharsi Markandeya ngarcana atau memuja Ida Bhatara-bhatari di Pura Ulun Danu Batur. Pangarcanaan ini selain untuk memohon penyucian diri dari segala malapetaka juga untuk peleburan dasa mala atau 10 kotoran batin pada diri setiap manusia. Peleburan dimaksud dengan memanfaatkan lima mata air suci berupa tirta di sekitar Pura Gunung Lebah. Tirta tersebut, yakni Tirta Taman Beji, Toya Beras, Sudhamala, Salukat, dan Tirta Goa. Selain panca tirta, di sekitar pura ini juga terdapat sejumlah tirta yang dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu oleh penduduk setempat. Tirta tersebut, yakni Tirta Dedari, Panji Kumara, Nirwana, Tunggang, dan tirta lain. Rembesan seluruh tirta ini manunggal (menyatu) menjadi Pacampuhan atau Tirta Campuhan.
Pangempon Pura Gunung Lebah Ubud, Prof Dr Tjokorda Gde Raka Sukawati SE MM alias Cok De, mengakui keterhubungan erat antara keberadaan Pura Ulun Danu Batur dengan Pura Gunung Lebah. Cok De pun menyebutkan bukti – bukti otentik secara sekala dan niskala tentang keterhubungan dimaksud. Salah satunya, saat Karya Mamungkah Tawur Panca Wali Kramam Panyegjeg Jagat, Tawur Padanaan, Ngenteg Linggih, Padudusan Agung di Pura Gunung Lebah tahun 2014. Saat itu, Ida Bhatara di Pura Ulun Danu Batur dalam lingganya berupa Pralingga Arca ngarajegin (mengukuhkan) karya dan malinggih (berstana) selama 21 hari di Pura Gunung Lebah. Palingga ini juga tedun (turun) untuk mengikuti rangkaian karya, antara lain Melasti ke segara (pantai). Kepada Cok De, pamucuk adat dan Pura Ulun Danu Batur yakni, Palinggih Dane Makalihan (berdua), Jero Gede Duhuran dan Jero Gede Alitan, sempat menyebutkan atas keyakinannya bahwa Pura Gunung Lebah adalah salah satu titik suci di kawasan hilir sekaligus linggih atau stana Ida Bhatara-bhatari Pura Ulun Danu Batur.

‘Arsitek’ Bade Ageng Prof Dr Tjokorda Gde Raka Sukawati SE MM alias Cok De, saat mengomando pengarakan Bade untuk Palebon Palinggih Dane Jero Gede Batur Kawanan, beberapa waktu lalu. –IST
Mengacu pada pemahaman itu, umat pun meyakini bahwa segala aktivitas bidang parahyangan di Pura Gunung Lebah memiliki kedekatan erat dengan Pura Ulun Danu Batur. Seturut hal itu, segala hal yang berkaitan dengan keyakinan niskala, Pura Gunung Lebah merupakan bagian dari kesucian Ida Bhatara-bhatari di Pura Ulun Danu Batur. ‘’Secara spiritual, Pura Gunung Lebah adalah duwe dari Ida Bhatara-bhatari di Ulun Danu Batur. Hal ini pula yang menjadi landasan kedekatan secara niskala dan sekala antara Ubud dan Batur,’’ jelas ‘arsitek’ Bade Ageng dan tapakan Ida Bhatara, ini.
Cok De menyebutkan, keterhubungan Pura Ulun Danu Batur dengan Pura Gunung Lebah pernah diakui oleh Jero Gede Makalihan di Batur. Oleh karena itu, beliau Jero Gede pasti tedun (turun) ke Ubud saat ada upacara di Pura Gunung Lebah.
Keterhubungan erat secara niskala itu pula menjadi alasan kuat tentang keterpanggilan semeton Puri Agung Ubud bersama masyarakat di Ubud untuk ikut mendukung dan menyukseskan Karya Palebon Palinggih Dane Jero Gede Batur Kawanan (Alitan) pada Sukra Umanis Kelawu, Jumat (24/1). Bentuk dukungannya, Cok De atas persetujuan Panglingsir Puri Agung Ubud Tjokorda Gde Putra Sukawati alias Cok Putra, yang kakak kandungnya, membuatkan langsung patulangan berupa Kaang (Raja Ikan) dan Bade Ageng Tumpang Sembilan untuk palebon Palinggih Dane Jero Gede. Persembahan berupa Bade ini selain mengacu papalihan (pedoman) Bade ala Batur, dan juga Kaang dibuat Cok De, berdasarkan catatan Raja Purana, khususnya Lontar Prattekaning Usana Siwa Sesana. Secara kebetulan, dua sarana penting dalam palebon itu juga dimohonkan ke Ubud oleh prajuru di Batur atas wasiat sang lebar (almarhum).
Cok De memaparkan, Palinggih Dane madeg (menjadi) Jero Gede karena sih atau kehendak Ida Bhatara-bhatari di Pura Ulun Danu Batur. Dan, Ida Bhatara-bhatari di Pura Ulun Danu Batur memiliki keterhubungan niskala yang sangat erat dengan Pura Gunung Lebah Ubud. ‘’Mengacu pada pengabdian sang lebar dan kedekatan dengan di Ubud, saya makin fokus untuk membuat persembahan yang terbaik untuk palebon almarhum. Padahal untuk membuat Bade Ageng dan khususnya Kaang yang tak terbayang dengan bentuknya, ini hanya dalam waktu 12 hari. Astungkara bisa dilaksanakan,’’ ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Udayana, Denpasar, ini.
Dari sisi pembuatan Bade hingga menginstruksikan pengarakan Bade kepada krama, Cok De sangat meyakini ada tiga spirit bhakti yang mesti dikombinasikan. Yakni, bhakti krama kepada Ida Bhatara–bhatari di Pura Ulun Danu Batur, bhakti kepada Palinggih Dane Jero Gede, dan kepada ancangan (pasukan roh) Ida Bhatara yang tak terlihat secara kasat mata. Tiga kekuatan ini macepuk (bertemu) sehingga Bade bisa diarak dengan baik dan pergerakannya pun sempurna hingga di tunon. Saat itu, Cok De sendiri mohon izin kepada krama pengarak Bade untuk menjalankan tugas memandu dari atas Bade, sesuai permintaan prajuru adat di Batur. ‘’Tiyang (saya) sangat bersyukur kepada Ida Bhatara-bhatari. Krama di Batur sangat taat dengan apa yang tiyang sampaikan, padahal mereka – mereka itu baru tiyang kenal,’’ ujar Cok De dengan mimik haru.
Cok De menginterpretasikan relasi antara Palinggih Dane selaku pamucuk Pura Ulun Danu Batur hingga urati (perhatian) dengan keberadaan di Pura Gunung Lebah Ubud, bersama para pengayah, dan berlanjut dengan kesuksesan palebon Palinggih Dane, adalah bagian dari praktik budaya Bali berlandaskan Tri Hita Karana. Semua itu bermuara pada keharmonisan alam dengan manusia, antarmanusia, dan dengan sesembahan, yakni Ida Sanghyang Widhi Wasa. ‘’Mungkin sukses palebon itu berbuah harmoni hingga ada tangis haru dari ratusan krama. Ini sangat mungkin menjadi kebahagiaan bagi Palinggih Dane untuk menuju alam niskala,’’ ujarnya.
Untuk diketahui, ayah Cok De, Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati mengenal sosok Palinggih Dane Jero Gede itu sejak tahun 1963, bertepatan dengan Karya Eka Dasa Ludra di Pura Agung Besakih, Karangasem. Saat itu, sang ayah bersama Palinggih Dane sama-sama ngayah mendak (menjemput) tirta ke Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, untuk karya di pura termegah itu.7lsa