Novel Jayaprana Layonsari Dibedah

1 day ago 1
ARTICLE AD BOX
SINGARAJA, NusaBali
Novel berjudul ‘Kisah Cinta dari Bali Utara Jayaprana Layonsari’ karya Putu Satria Kusuma dibedah tuntas di STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Selasa (27/5) kemarin. Bedah buku ini menghadirkan Duta Baca Buleleng dr Putu Sukedana sebagai narasumber, Putu Satria Kusuma sebagai penulis, serta Dr Putu Mardika sebagai moderator. Buku yang digarap selama setahun penuh ini merupakan hasil riset Putu Satria sejak tahun 1991 silam dengan 30 sumber buku sebagai referensi.

Ditemui usai bedah buku, Putu Satria Kusuma mengatakan terdorong menyusun buku novel yang sarat akan kisah cinta ini, sebagai penyempurnaan naskah drama gong dan naskah film yang pernah disusunnya. Novel ini juga menyampaikan beberapa fakta-fakta baru, yang tidak bisa dimasukkan dalam naskah film dan naskah drama gong.

“Banyak sekali data-data yang tidak bisa difilmkan dan dimasukkan dalam drama. Ada fakta-fakta baru yang harus diketahui masyarakat awal terkait kisah Jayaprana dan Layonsari. Seperti misalnya nama asli Layonsari sebenarnya Sekarsari, setelah jadi mayat baru jadi Layonsari,” ucap pensiunan pegawai Pemkab Buleleng ini.

Sastrawan asal Kelurahan Banyuning, Kecamatan/Kabupaten Buleleng ini pun menyebut dari hasil risetnya menemukan kisah Jayaprana Layonsari adalah fakta bukan fiksi. Hal itu diyakini Satriya Kusuma, dari nama Jayaprana. Menurut trasir ahli sastra, Satriya Kusuma mendapat pencerahan, nama orang yang akan tetap harum meski sudah meninggal dunia (Jayaprana) hanya orang yang bisa menguasai prana atau cakra-cakra dalam tubuh. Kebijakannya itu pun yang akhirnya bisa menguasai Layonsari.


“Ada babad juga mengisahkan raja dalam kisah itu bukan raja buduh, melainkan raja yang kena kutuk, karena berani membuka saluran air Batukaru (Tabanan) ke Kalianget (Buleleng). Tetua Batukaru saat itu sudah melarang dan mengingatkan jika bersikeras akan membahayakan kerajaan, rakyat dan raja pun akan mati, tetapi raja tidak menghiraukan,” papar Satria Kusuma.

Dalam proses penulisan novel selama setahun, Satria Kusuma mengaku mengalami kendala. Data riset yang sangat kaya tidak lantas membuat proses penulisan novelnya mulus. Sebab ada beberapa data riset yang tidak utuh. Dia memerlukan kerja keras untuk mengimajinasikan riset yang tidak utuh, termasuk menggambarkan tokoh-tokoh dalam kisah melakukan aksi-aksinya. “Itu perlu keterampilan, sehingga saya menulisnya pelan-pelan. Satu halaman tidak bisa satu hari, bahkan harus diperbaiki berulang kali. Kisah ini juga sakral, jadi saya tidak berani main-main,” imbuh sastrawan bergelar Sarjana Hukum (SH) ini.

Novel Jayaprana Layonsari ini diterbitkan mandiri hanya 500 eksemplar. Harapannya cerita cinta Romeo dan Juliet versi lokal Bali ini dapat diketahui dan dilestarikan anak muda. Satriya Kusuma juga berharap pemerintah kedepannya menggarap serius situs Jayaprana Layonsari yang ada di Kabupaten Buleleng, menjadi salah satu Daya Tarik Wisata (DTW) yang menarik.

Bedah buku ini didukung Pemkab Buleleng. Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah (DAPD) Buleleng, Made Era Oktarini menjelaskan, kegiatan ini dirancang untuk membangun ekosistem literasi yang melibatkan banyak pihak, mulai dari dunia pendidikan hingga komunitas literasi.

“Bedah buku ini menjadi ruang refleksi. Sastra lokal bisa menjadi pintu masuk untuk memahami nilai-nilai kemanusiaan dan identitas Buleleng,” kata Era.7 k23
Read Entire Article