Kasus Bunuh Diri Berbuah ‘Neraka’ di Pulau Surga

3 weeks ago 3
ARTICLE AD BOX
Diduga kuat pasangan muda ini melakukan bunuh diri. Di dekat mereka ditemukan botol racun serangga. Kasus yang menggemparkan masyarakat ini menunjukkan bahwa fenomena bunuh diri di Bali yang dikenal dengan Pulau Surga, ini makin mengkhawatirkan banyak kalangan. 

Angka suicide rate atau tingkat bunuh diri di Bali bahkan menjadi tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Indonesia (Pusiknas) Polri yang menerima laporan kasus bunuh diri sepanjang 2023, angka suicide rate atau tingkat bunuh diri di Bali mencapai 3,07 per 100.000 orang. 

Aksi bunuh diri pasangan suami-istri di Padanggalak, Kota Denpasar. –IST 

Tingginya kasus bunuh diri menjadi paradoks di Pulau Surga. Guru besar FK Unud Prof Dr dr Cok Bagus Jaya Lesmana SpKJ mengatakan, banyak faktor yang memicu bunuh diri di Bali, mulai dari tekanan sosial ekonomi, penyakit tak kunjung sembuh (kronis), hingga faktor budaya. 

Prof Cok Jaya menyayangkan belum adanya upaya masif yang dilakukan pemerintah untuk menekan angka kasus bunuh diri di Bali. Dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, Bali juga disebut sebagai salah satu daerah dengan prevalensi penyakit kesehatan mental tertinggi di Indonesia. “Upaya yang belum dilakukan adalah menjadikan kesehatan mental sebagai hal yang serius dan prioritas untuk dijaga. Bunuh diri dan kesehatan mental bukan hanya ranah tenaga medis, melainkan juga gerakan bersama untuk mulai melihat diri dan sekitar kita,” ujarnya, Rabu (12/3).  

Prof Cok Jaya mencermati adanya kecenderungan menurunnya kepedulian masyarakat kepada orang di sekitar, khususnya sesama yang dalam kesulitan. Individualitas sudah merasuk ke dalam banyak sendi kehidupan masyarakat Bali. “Kepedulian untuk membantu sesama adalah hal yang penting untuk diingatkan,” tekan Prof Cok Jaya. 

Beberapa hal, menurut Prof Cok Jaya, dapat dilakukan untuk memulai upaya bersama mencegah kasus bunuh diri di Bali semakin bertambah. Pertama, penguatan kesehatan mental masyarakat melalui pelatihan tenaga kesehatan dan membangun support group serta tempat berbagi. Kedua, pendekatan spiritual dan budaya lokal untuk kembali ke pemahaman diri dan membangun daya juang yang lebih baik. Ketiga, kampanye publik dan pendidikan kesehatan mental di sekolah, tempat kerja serta pelatihan jurnalisme yang sensitif kesehatan mental. Keempat, peningkatan layanan krisis kesehatan mental berupa hotline atau aplikasi digital. Dan, kelima,  penguatan faktor sosial dan ekonomi melalui ruang komunitas, layanan rehabilitasi dan mendukung mereka yang rentan secara ekonomi.

Prof Cok Jaya menjelaskan, bunuh diri tidak memandang usia, tingkat pendidikan, ekonomi, status sosial, maupun pekerjaan. Dorongan hidup atau pun bunuh diri, jelasnya, selalu ada dalam diri setiap manusia. Karena itu, konsep diri yang positif penting dimiliki untuk menghadapi tantangan kehidupan. 

“Ada yang bilang tidak cukup kuat agamanya, tapi agamawan ternyata ada (yang bunuh diri). Ada yang bilang miskin, oh ternyata orang kaya ada. Dibilang yang pendidikan rendah, ternyata profesor pun ada yang bunuh diri. Jadi tidak memandang dari kasta mana,” ujar Prof Cok Jaya. 

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali I Nyoman Gde Anom mengatakan sejauh ini pihaknya telah melakukan upaya deteksi dini kondisi kejiwaan melalui Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas. Skrining dapat dilakukan di 126 Puskesmas di Bali. Skrining kesehatan mental ini dapat diakses secara gratis melalui aplikasi SATUSEHAT. SRQ (self reporting questionnaire) berisi 20 butir pertanyaan untuk skrining gangguan psikiatri. Sementara itu, SDQ (strengths and difficulties questionnaire) merupakan skrining perilaku singkat untuk anak dan remaja yang berusia di bawah 18 tahun. “Kalau tidak bisa diselesaikan oleh dokter di Puskesmas, harus ke psikiater rumah sakit,” ujar Anom. Selain upaya preventif, Dinkes juga melakukan upaya promotif seperti edukasi penyuluhan oleh petugas Puskesmas maupun kader di institusi yang telah dilakukan skrining. 

I Nyoman Gede Anom –SURYADI

Ketua PHDI Bali, I Nyoman Kenak menegaskan budaya Bali dan agama Hindu memiliki kearifan lokal yang melarang umatnya melakukan ulah pati (bunuh diri). Kenak menyebut dalam budaya Bali bunuh diri dikategorikan sebagai kematian ulah pati atau kematian tak wajar. Kata dia, ulah pati adalah kematian yang dilakukan dengan sengaja bunuh diri, baik meneguk racun, menceburkan diri maupun gantung diri dan sebagainya. 

I Nyoman Kenak –IST

Dia menyebutkan, perilaku ulah pati dipengaruhi oleh kleda (putus asa) yaitu sifat yang mudah menyerah dan pesimis tanpa berpikir panjang dalam memecahkan masalah yang dihadap, sehingga mereka yang melakukan ulah pati akan mendapatkan hukuman selama 60 ribu tahun dalam kegelapan neraka. Hal ini, disebutkan dalam Lontar Parasara Dharmasastra, yaitu bahwa orang yang melakukan ulah pati, maka rohnya akan terkurung di alam kegelapan di neraka selama 60 ribu tahun. 

Dia pun mengingatkan umat tentang nilai-nilai Ketuhanan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. “Bali punya kearifan lokal di bidang spiritual, ketika (permasalahan) dikelola dengan baik, didiskusikan bersama keluarga, rahayu kepangggih atau melahirkan kebaikan,” ujar Kenak.7adi
Read Entire Article