ARTICLE AD BOX
Bertema “Mengungkap Taktik Industri Produk Tembakau dan Nikotin,” konferensi yang dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ini menyoroti urgensi penguatan kebijakan pengendalian tembakau di tengah pengaruh kuat industri dan meningkatnya prevalensi perokok usia muda.
I Nyoman Suwirta, Anggota DPRD Bali dan mantan Bupati Klungkung yang dikenal vokal dalam pengendalian tembakau, menekankan pentingnya eksekusi dalam menerapkan regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
“Sebagai legislator, saya mendorong perubahan regulasi, tetapi pelaksanaannya ada di tangan pemimpin daerah,” ujar Suwirta, sembari merefleksikan pengalamannya selama satu dekade sebagai eksekutor.
Ia mencatat, meski Bali telah memiliki Perda KTR sejak 2017, penegakan aturan masih lemah. Suwirta juga memaparkan data saat menjabat bupati, yang menunjukkan 28% warga Klungkung merokok, dengan sebagian besar adalah masyarakat berpenghasilan rendah, menepis anggapan bahwa merokok tidak terkait kemiskinan.
Ketua Panitia 10th ICTOH 2025, dr. Sumarjati Arjoso, SKM, menggarisbawahi skala nasional permasalahan ini. Ia menyebutkan lebih dari 50% kabupaten dan kota di Indonesia telah memiliki regulasi KTR, tetapi tingkat kepatuhan hanya 27%.
“Eksekusi bergantung pada kepemimpinan dan pendanaan daerah,” jelasnya. Arjoso menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 yang lebih ketat dibandingkan PP 109/2024, melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan melarang merokok bagi usia di bawah 21 tahun.
Namun, ia mengkhawatirkan tekanan industri, dengan Asosiasi Produsen Rokok Indonesia yang dilaporkan melakukan lobi intensif untuk kembali ke regulasi lama yang lebih longgar. “Kolaborasi lintas sektor mutlak diperlukan untuk melawan taktik industri,” tegasnya.
Dr. Tara Singh Bam, Direktur Pengendalian Tembakau Asia-Pasifik dari Vital Strategies, Singapura, menyoroti posisi unik Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia-Pasifik yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) WHO. “Tanpa ratifikasi FCTC, industri tembakau memengaruhi kebijakan di semua tingkatan—nasional, provinsi, hingga lokal,” peringatnya.
Ia mencontohkan keberhasilan India yang menurunkan konsumsi tembakau setelah mengadopsi FCTC, terutama melalui Artikel 5.3 yang mengisolasi campur tangan industri dalam pembuatan kebijakan. Bam menegaskan ratifikasi FCTC sebagai prasyarat untuk pengendalian tembakau yang efektif di Indonesia, karena regulasi saat ini, termasuk PP 28/2024, masih di bawah standar WHO.
Konferensi yang diselenggarakan oleh Udayana Center for NCDs, Tobacco Control and Lung Health (Udayana CENTRAL) dan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ini juga menyoroti maraknya perokok usia muda. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 memperkirakan 70 juta perokok aktif, dengan 7,4% di antaranya berusia 10-18 tahun. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2020 mencatat kenaikan prevalensi perokok usia 13-17 dari 18,5% (2016) menjadi 19,5% (2020).
Dr. Putu Ayu Swandewi Utami, Ketua Udayana CENTRAL, menegaskan peran ICTOH sebagai platform ilmiah untuk menyajikan penelitian terbaru dan memperkuat kolaborasi. Konferensi ini menghadirkan sesi pleno, simposium, dan Forum Pemuda pada 26 Mei , sehari sebelum pembukaan, untuk menggugah partisipasi anak muda.
Ayu Swandewi menyoroti perlunya mengintegrasikan pengendalian tembakau dalam pembangunan Bali yang berbasis pariwisata, karena ketidakpatuhan di tempat umum seperti restoran merusak citra Bali sebagai destinasi sehat.
Acara yang dihadiri lebih dari 500 peserta secara luring dan daring ini menghasilkan rekomendasi untuk kebijakan yang lebih tegas, termasuk ratifikasi FCTC dan peningkatan kepatuhan KTR.
Deklarasi Bali akan menegaskan urgensi adopsi FCTC untuk menyelaraskan Indonesia dengan standar global. Para pemangku kepentingan menyerukan upaya lintas sektor untuk melindungi kesehatan masyarakat dan memanfaatkan bonus demografi 2030 dengan mengurangi beban tembakau pada generasi muda, tenaga kerja produktif, dan masyarakat berpenghasilan rendah.